Berbicara mengenai otentisitas hadis berarti berbicara soal asal usul hadis. Perbincangan mengenai ini masih mengemuka dalam perdebatan studi hadis, terutama di kalangan sarjana Barat. Pasca renaissans membawa pengaruh yang sangat signifikan dalam dunia pengetahuan, terutama skeptisisme terhadap segala sesuatu yang ada. Begitu pula dalam kajian hadis di kalangan orientalis, apakah hadis yang beredar di kalangan umat muslim, yang menjadi sumber hukum kedua dalam Islam, benar adanya bersumber langsung dari Nabi Muhammad atau tidak?. Hal inilah yang dilakukan Ignaz goldziher yang kemudian ia sampai pada kesimpulan skeptisnya mengenai otentisitas hadis Nabi.
Ignaz meneliti hadis-hadis dalam kitab-kitab kanonik koleksi hadis. Ia membandingkan variasi teks matan hadis dari berbagai riwayat, kemudian merekonstruksikanya perkembangan kronologis masing-masing teks (dating). Ia menemukan adanya teks matan hadis yang saling kontradiktif antara satu dengan lainya. Materi-materi hadis yang terdapat pada kitab-kitab hadis yang muncul belakangan (setelah era kodifikasi) tidak memiliki rujukan pada kitab-kitab yang ditulis sebelumnya. Ditambah dengan kenyataan bahwa Sahabat-sahabat muda Nabi justru meriwayatkan hadis lebih banyak dibandingkan dengan Sahabat-sahabat tua Nabi[1].
Ignaz telah sampai pada kesimpulan bahwa hadis adalah konsekuensi dari jurisprudensi yang bebasis ra’yu. Lalu kemudian ia diatribusikan kepada Nabi untuk memperkuat argument hokum. Hal ini dapat dilihat dari sejarah perkembangan jurisprudensi Islam, dimana upaya penyusunan “hokum Muhammad” yang baru mulai sekitar abad ke-2 Hijriyah di masa pemerintahan dinasti Bani Umayah, di wilayah Madinah, Syiria dan Irak, tidak membuahkan sebuah kodifikasi hokum. Namun upaya tersebut baru terwujud pada masa Bani Abbasiyah. Pada masa itu terjadi konflk antara ahl al hadis dan ahl ar ra’yu yang mencapai puncaknya pada paruh kedua abad ke-2 Hijriyah. Ketika itulah bermunculan hadis-hadis, yang pada dasarnya adalah ra’yu. Bahkan tidak hanya dalam ranah hokum, dalam doktrin politik dan teologi pun mengambil bentuknya dalam hadis[2]. Menurut Goldziher, pada paruh pertama hingga paruh kedua abad pertama Hijriyah hampir tidak ada sama sekali proses transmisi hadis. Oleh karena itu jika terdapat laporan tentang hadis pada masa itu sangat diragukan kebenaranya dan merupakan atribusi yang diada-adakan[3].
Bedasarkan analisis sosio-historisnya, goldziher berargumen bahwa hadis tidak dapat dipandang sebagai dokumentasi bagi sejarah kealahiran Islam, melainkan hanya sebagai refleksi tendensius yang muncul di masyarakat pada tahap awal perkembanaganya. Maka sangat sulit sekali untuk membuktikan secara historis bahwa hadis itu otentik berasal dari Nabi[4].
[1] Igna Goldziher, Muslim Studies. Vol.2. hlm. 19 (dalam file pdf)
[2] Wahyudin Darma Laksana. Hadis di Mata Orintalis: Telaah atas Pandangan Ignaz Goldziher dan Joseph Scatch (Bandung: Benang Merah, 2004), hlm. 96
[3] Fahmi Riyadi, “Studi Asal Usul Hadis Perspektif Herbert Berg (Analisis Atas Kualitas Isnad dalam Tafsir Surah al Hijr/15:89-91)”. Dalam ‘Orientalisme Al Qur’an dan Hadis’. (Yogyakarta: Nawesea, 2007) hlm. 190
[4] Goldziher. Muslim Studis. Vol.2 Hlm. 19