Asal-usul & Perkembangan Studi Hadis
Ketertarikan
sarjana Barat terhadap kajian ke-Islaman pada umumnya, dan terhadap Al Qur’an
dan Hadis pada khususnya sudah muncul sejak abad ke-3 H/ ke-9 M. Sampai saat ini ketertarikan tersebut masih
tetap eksis bahkan semakin berkembang dari decade ke decade. Sementara secara
spesifik, studi hadis oleh para sarjana Barat dimulai sejak sekitar abad ke 19
M, yakni dimulai oleh Alois Sprenger (w. 1893). Alois adalah seorang sarjana
jerman yang mengekspresikam skeptisismenya terhadap otentisitas hadis[1]. Namun sepertinya disamping Alois Sprenger,
ada yang lebih mendahuluinya, yakni R. Dozy, ia mengungkapkan bahwa di dalam
kitab Shahih Bukhori terdapat banyak hadis yang dipertanyakan
kesahihanya. Hal ini ia jelaskan dalam bukunya “Essais sur l’Histoire de
l’Islamisme” yang diterbitkan oleh Leude, Paris pada tahun 1879[2].
Yang
dimaksud dengan perkembangan studi hadis di atas adalah studi hadis di kalangan
orientalis pada periode modern, yakni dimana ilmu pengetahuan telah menemukan
pencerahan kembali setelah terkungkung oleh kuatnya doktrin gereja, yaitu
dimulai sekitar abad ke-19 dan 20 M. Dengan demikian, ada kemungkinan bahwa
studi hadis telah dilakukan sebelum periode modern ini, meskipun tidak dapat
diketahui dengan pasti kapan awal mulanya dan siapa yang memulainya. Namun,
embrio studi hadis sudah ada semenjak sebelum abad ke-17 M. Hal ini terlihat
dari sikap mereka ketika menggambarkan Muhammad sebagai seorang yang terserang
penyakit epilepsy, pendusta dan sebagainya, sehingga agama yang dibawanya
bukanah agama yang benar[3].
Berbincang
soal asal usul merupakan materi ang tiada hentinya dikaji dalam studi hadis,
terutama di kalangan sarjana Orientalis. Di antara implikasi dari masa Renaissance
di Eropa adalah keraguan pengetahuan Barat terhadap segala hal. Demikian
hal nya sikap skeptic sarjana Barat terhadap otentisitas hadis. Bentuk keraguan
ini adalah apakah hadis Nabi dapat dibuktikan secara historis benar-benar
otentik bersumber dari Nabi?. Sedangkan menurut pendapat sarjana muslim yang
juga didukung oleh beberapa pemikir orientalis, mempercayai bahwa hadis
benar-benar berasal dari Muhammad. Kedua kelompok yang saling bertentangan ini
berupaya untuk menunjukan argument masing-masing dengan fakta yang dapat
dijelaskan secara metodologis.
Secara
fundamental, studi hadis di kalangan orientalis (Barat) berbeda dengan studi
hadis di kalangan umat Islam pada umumnya (Timur). Di dunia Islam studi hadis
lebih menekankan pada persoalan takhrij hadis untuk menentukan
otentisitasnya, sedangkan di kalangan orientalis, lebih menekankan pada
bagaimana melakukan penanggalan (Datierung) hadis untuk menaksir
historisitasnya dan bagaimana melakukan rekonstruksi sejarah terhadap peristiwa
yang terjadi pada masa awal islam[4].
Terdapat
lima metode penanggalan hadis, antaranya yakni; 1) metode penanggalan yang
didasarkan atas teks, 2) metode yang diambil dari kitab-kitab pengumpulan
riwayat, 3) metode penanggalan dengan bantuan sanad, 4) metode yang didasarkan
atas sanad dan matan, 5) meted penanggalan yang didasarkan atas
criteria-kriteria lain[5]. Selain metode datierung ada pula
metode kritik sumber (quellenkritik) yang digunakan para orientalis
untuk mengetahui sejauh mana suatu riwayat tentang sejarah kehidupan Muhammad
dan sejarah islam dapat dipercaya, yakni dapat diuraikan dalam perspektif ilmu
sejarah (historis) moderen.
Kecenderungan
cara berfikir orientalis yang concern dengan studi hadis, menurut
Herbert Berg dapat digolongkan menjadi tiga. (1) skeptis, (2) non-skeptis, (3) middle
ground[6]. Kelompok
pertama, di antaranya diwakili oleh Dozy, Sprenger, William Munir, dan Ignaz
Golziher. Skeptisisme tehadap otentisitas hadis ini, terutama sangat kental
dalam buku Ignaz Goldziher Muslim Studis. Menurut Goldziher, hadis
–hadis Nabi tidak dapat di pandang sebagai dokumentasi searh Islam, melainkan
hanya refleksi tendensi-tendensi yang muncul di masyarakat pada fase awal
perkembangan Islam. Hal ini brdasarkan materi-materi hadis yang terdapat dalam
kitab-kitab hadis belakangan tidak memiliki rujukan pada kitab hadis
sebelumnya. Keraguan ini semakin bertambah ketika Goldziher menemukan adanya
kontradiksi dalam materi hadis, antara satu dengan lainya. Menurutnya,
hadismerupakan konsekuensi jurisprudensi yang berbasis ra’yu. Hadis
diatribusikan kepada Nabi hanya untuk memperkuat argument jurisprudensi. Hal
ini dapat dilihat dari sejarah perkembangan jurisprudensi Islam yang baru
dimulai sekitar awal abad ke-2 H. pada masa pemerintahan Dinasti Bani Umayyah.
Skeptisisme Golziher ini kemudian diikuti oleh Joseph Schacht(1902-1969) yang
kemudian berhasil menelurkan teori e silentio,backward-projection, dan common
link yang banyak digunakan oleh penelitian berikutnya.
Kelompok
kedua diakili oleh Nabia Abbot, Mustafa Azami dan masih banyak lainya. ,
Menurut Nabia Abbot, tradisi tulis menulis sudah berlangsung sjak masa
Nabi, dimana para sahabat terbiasa menulis keterangan keterangan selain AL
Qur’an, yamg disampaikan Nabi. Tradisi tulis menulis ini menopang tradisi oral
yang berkembang di masyarakat Arab pada masa itu. Abbot meneliti
manuskrip-manuskrip yang berisi informasi tentang karya-karya generasi awal
Islam yang bersumber dari berbagai kitab. Abbot tidak sepakat jika hadis
diterjemahkan sebagai bentuk pemalsuan dalam Islam tau rekaya ulama untuk
mendukung argumentsi hokum[7].
Kemuian
kelompok ketiga, yakni kelompok moderat,di antaranya diwakili oleh Harald
Moztki. Di satu sisi Motzki mengkritik asumsi-asumsi skeptic. Dalampenelitianya
tentang kitab hadis al Mushannaf karya ‘Abd ar-Razzaq ash-Shan’ani (w.211/826),
ia mengatakan bahwa as Sha’ani tidak mungkin melakukan pemalsuan hadis.
Analisis statistic terhadap informan-informan ash Shan’ani menunjukan adanya
pola yang bervariasi dalam hal sanad, matan, dan istilah-istilah periwayatn
yang digunkan dan dalam proporsi hadis dari Nabi, Sahabat atau Tabi’in.
variasi-variasi ini menunjukan adanya proses panjang dalam transmisi hadis yng
tidak mungkin dikarang oleh motzki.[8]
[1]
Dadi Nurhaedi, “Perkembangan Studi Hadis di Kalangan Orientalis”, dalam
jurnal ‘ESENSIA’, Vol.4, No. 2, Juli 2003, hlm. 170-171
[2]
Sebagaimana yang dikutip oleh Sahiron Syamsudin, “Pemetaan Penelitian Orientalis terhadap Hadis” dalam ‘
Orientalisme Al Qur’an dan Hadis’. (Yogyakarta: Nawesea Press, 2007) hlm. 46
[3]
Ibid,
[4]
Munawir, “Hadis Nabi di Mata Orientalis (Telaah Terhadap Kritik Otentisitas
dan Kritik Sanad Joseph Schacht)”, dalam ‘Orientalisme Al Qur’an dan
Hadis’. (Yogyakarta: Nawesea Press, 2007) hlm. 177
[5]
Sahiron Syamsudin, “Pemetaan Penelitian Orientalis terhadap Hadis”, dalam Orientalisme Al Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta:
Nawesea Press, 2007) hlm. 50-54
[6]
Ibid. hlm. 46
[7]
Lihat; Nabia Abbot. “Hadith Literature- II: Collection and Transmission
of Hadith”, dalam ‘Arabic Literature to the End of the Umyyad Period’
(Cambridge: Cambridge University press, 1983), hlm. 7-11 “dalam versi PDF”
[8]
Sebagaimana dikutip oleh; Sahiron Syamsudin, “Pemetaan Penelitian Orientalis
terhadap Hadis”, dalam Orientalisme
Al Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta: Nawesea Press, 2007) hlm. 49
bagus.... kpn q bisa spt imas.... :)
BalasHapustrimakasih, masih perlu banyak belajar n membaca lagi :)
Hapusmasyallah..... sy sudah lama skali tidak menengok Blog ini, sampai2 saya ndak tau kalo ternyata ada yg komen..heheheu
like
BalasHapus