Translate

Senin, 01 Juli 2013

Studi hadis di Barat




Asal-usul & Perkembangan Studi Hadis

Ketertarikan sarjana Barat terhadap kajian ke-Islaman pada umumnya, dan terhadap Al Qur’an dan Hadis pada khususnya sudah muncul sejak abad ke-3 H/ ke-9 M.  Sampai saat ini ketertarikan tersebut masih tetap eksis bahkan semakin berkembang dari decade ke decade. Sementara secara spesifik, studi hadis oleh para sarjana Barat dimulai sejak sekitar abad ke 19 M, yakni dimulai oleh Alois Sprenger (w. 1893). Alois adalah seorang sarjana jerman yang mengekspresikam skeptisismenya terhadap otentisitas hadis[1]. Namun sepertinya disamping Alois Sprenger, ada yang lebih mendahuluinya, yakni R. Dozy, ia mengungkapkan bahwa di dalam kitab Shahih Bukhori terdapat banyak hadis yang dipertanyakan kesahihanya. Hal ini ia jelaskan dalam bukunya “Essais sur l’Histoire de l’Islamisme” yang diterbitkan oleh Leude, Paris pada tahun 1879[2].
            Yang dimaksud dengan perkembangan studi hadis di atas adalah studi hadis di kalangan orientalis pada periode modern, yakni dimana ilmu pengetahuan telah menemukan pencerahan kembali setelah terkungkung oleh kuatnya doktrin gereja, yaitu dimulai sekitar abad ke-19 dan 20 M. Dengan demikian, ada kemungkinan bahwa studi hadis telah dilakukan sebelum periode modern ini, meskipun tidak dapat diketahui dengan pasti kapan awal mulanya dan siapa yang memulainya. Namun, embrio studi hadis sudah ada semenjak sebelum abad ke-17 M. Hal ini terlihat dari sikap mereka ketika menggambarkan Muhammad sebagai seorang yang terserang penyakit epilepsy, pendusta dan sebagainya, sehingga agama yang dibawanya bukanah agama yang benar[3].
Berbincang soal asal usul merupakan materi ang tiada hentinya dikaji dalam studi hadis, terutama di kalangan sarjana Orientalis. Di antara implikasi dari masa Renaissance di Eropa adalah keraguan pengetahuan Barat terhadap segala hal. Demikian hal nya sikap skeptic sarjana Barat terhadap otentisitas hadis. Bentuk keraguan ini adalah apakah hadis Nabi dapat dibuktikan secara historis benar-benar otentik bersumber dari Nabi?. Sedangkan menurut pendapat sarjana muslim yang juga didukung oleh beberapa pemikir orientalis, mempercayai bahwa hadis benar-benar berasal dari Muhammad. Kedua kelompok yang saling bertentangan ini berupaya untuk menunjukan argument masing-masing dengan fakta yang dapat dijelaskan secara metodologis.
Secara fundamental, studi hadis di kalangan orientalis (Barat) berbeda dengan studi hadis di kalangan umat Islam pada umumnya (Timur). Di dunia Islam studi hadis lebih menekankan pada persoalan takhrij hadis untuk menentukan otentisitasnya, sedangkan di kalangan orientalis, lebih menekankan pada bagaimana melakukan penanggalan (Datierung) hadis untuk menaksir historisitasnya dan bagaimana melakukan rekonstruksi sejarah terhadap peristiwa yang terjadi pada masa awal islam[4].
Terdapat lima metode penanggalan hadis, antaranya yakni; 1) metode penanggalan yang didasarkan atas teks, 2) metode yang diambil dari kitab-kitab pengumpulan riwayat, 3) metode penanggalan dengan bantuan sanad, 4) metode yang didasarkan atas sanad dan matan, 5) meted penanggalan yang didasarkan atas criteria-kriteria lain[5]. Selain metode datierung ada pula metode kritik sumber (quellenkritik) yang digunakan para orientalis untuk mengetahui sejauh mana suatu riwayat tentang sejarah kehidupan Muhammad dan sejarah islam dapat dipercaya, yakni dapat diuraikan dalam perspektif ilmu sejarah (historis) moderen.
Kecenderungan cara berfikir orientalis yang concern dengan studi hadis, menurut Herbert Berg dapat digolongkan menjadi tiga. (1) skeptis, (2) non-skeptis, (3) middle ground[6]. Kelompok pertama, di antaranya diwakili oleh Dozy, Sprenger, William Munir, dan Ignaz Golziher. Skeptisisme tehadap otentisitas hadis ini, terutama sangat kental dalam buku Ignaz Goldziher Muslim Studis. Menurut Goldziher, hadis –hadis Nabi tidak dapat di pandang sebagai dokumentasi searh Islam, melainkan hanya refleksi tendensi-tendensi yang muncul di masyarakat pada fase awal perkembangan Islam. Hal ini brdasarkan materi-materi hadis yang terdapat dalam kitab-kitab hadis belakangan tidak memiliki rujukan pada kitab hadis sebelumnya. Keraguan ini semakin bertambah ketika Goldziher menemukan adanya kontradiksi dalam materi hadis, antara satu dengan lainya. Menurutnya, hadismerupakan konsekuensi jurisprudensi yang berbasis ra’yu. Hadis diatribusikan kepada Nabi hanya untuk memperkuat argument jurisprudensi. Hal ini dapat dilihat dari sejarah perkembangan jurisprudensi Islam yang baru dimulai sekitar awal abad ke-2 H. pada masa pemerintahan Dinasti Bani Umayyah. Skeptisisme Golziher ini kemudian diikuti oleh Joseph Schacht(1902-1969) yang kemudian berhasil menelurkan teori e silentio,backward-projection, dan common link yang banyak digunakan oleh penelitian berikutnya.
Kelompok kedua diakili oleh Nabia Abbot, Mustafa Azami dan masih banyak lainya. , Menurut Nabia Abbot, tradisi tulis menulis sudah berlangsung sjak masa Nabi, dimana para sahabat terbiasa menulis keterangan keterangan selain AL Qur’an, yamg disampaikan Nabi. Tradisi tulis menulis ini menopang tradisi oral yang berkembang di masyarakat Arab pada masa itu. Abbot meneliti manuskrip-manuskrip yang berisi informasi tentang karya-karya generasi awal Islam yang bersumber dari berbagai kitab. Abbot tidak sepakat jika hadis diterjemahkan sebagai bentuk pemalsuan dalam Islam tau rekaya ulama untuk mendukung argumentsi hokum[7].
Kemuian kelompok ketiga, yakni kelompok moderat,di antaranya diwakili oleh Harald Moztki. Di satu sisi Motzki mengkritik asumsi-asumsi skeptic. Dalampenelitianya tentang kitab hadis al Mushannaf karya ‘Abd ar-Razzaq ash-Shan’ani (w.211/826), ia mengatakan bahwa as Sha’ani tidak mungkin melakukan pemalsuan hadis. Analisis statistic terhadap informan-informan ash Shan’ani menunjukan adanya pola yang bervariasi dalam hal sanad, matan, dan istilah-istilah periwayatn yang digunkan dan dalam proporsi hadis dari Nabi, Sahabat atau Tabi’in. variasi-variasi ini menunjukan adanya proses panjang dalam transmisi hadis yng tidak mungkin dikarang oleh motzki.[8]


[1] Dadi Nurhaedi, “Perkembangan Studi Hadis di Kalangan Orientalis”, dalam jurnal ‘ESENSIA’, Vol.4, No. 2, Juli 2003, hlm. 170-171
[2] Sebagaimana yang dikutip oleh Sahiron Syamsudin, “Pemetaan Penelitian  Orientalis terhadap Hadis” dalam ‘ Orientalisme Al Qur’an dan Hadis’. (Yogyakarta: Nawesea Press, 2007) hlm. 46
[3] Ibid,
[4] Munawir, “Hadis Nabi di Mata Orientalis (Telaah Terhadap Kritik Otentisitas dan Kritik Sanad Joseph Schacht)”, dalam ‘Orientalisme Al Qur’an dan Hadis’. (Yogyakarta: Nawesea Press, 2007) hlm. 177
[5] Sahiron Syamsudin, “Pemetaan Penelitian Orientalis terhadap Hadis”, dalam  Orientalisme Al Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta: Nawesea Press, 2007) hlm. 50-54
[6] Ibid. hlm. 46
[7] Lihat; Nabia Abbot. “Hadith Literature- II: Collection and Transmission of Hadith”, dalam ‘Arabic Literature to the End of the Umyyad Period’ (Cambridge: Cambridge University press, 1983), hlm. 7-11 “dalam versi PDF”
[8] Sebagaimana dikutip oleh; Sahiron Syamsudin, “Pemetaan Penelitian Orientalis terhadap Hadis”, dalam  Orientalisme Al Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta: Nawesea Press, 2007) hlm. 49

3 komentar:

  1. bagus.... kpn q bisa spt imas.... :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. trimakasih, masih perlu banyak belajar n membaca lagi :)
      masyallah..... sy sudah lama skali tidak menengok Blog ini, sampai2 saya ndak tau kalo ternyata ada yg komen..heheheu

      Hapus