Translate

Selasa, 22 Oktober 2013

Teori “Penggabungan/Asimilasi Horison (Fusion of Horizons)” Gadamer





Hans Georg Gadamer, seorang filosof besar asal Jerman yang meninggal pada tanggal 14 Maret 2002, merupakan tokoh besar hermeneutik yang berusaha mendialogkan kebenaran historis atau kebenaran kontekstual dengan kebenaran ahistoris atau kebenaran obyektif. Menurut Gadamer, dalam membaca teks, setiap orang selalu berangkat dari pra-pemahaman (pre-understanding) yang dimilikinya. Prapemahaman yang dimiliki seorang reader akan selalu memainkan peran ketika ia membaca suatu teks. Secara praktis, prapemahaman ini diwarnai oleh tradisi ruang dan waktu dimana si reader berada, dan perkiraan awal (pre-judice) yang terbentuk dalam tradisi-tradisi tersebut.
Menurut Gadamer, prapemahaman harus selalu ada ketika pembaca menafsirkan teks, agar ia mampu mendialogkan tradisi yang ada pada diri pembaca (baca: prapemahaman) dengan tradisi yang ada pada diri objektif teks itu sendiri. Pada prosesnya, reader harus selalu berusaha memperbarui prapemahamanya. Inilah yang dimaksud Gadamer dengan penggabungan atau asimilasi horison (fusion of horizons). Berdasarkan teori ini, proses penafsiran redaer terhadap suatu teks selalu dipengaruhi oleh dua horison, yakni cakrawala (pengetahuan) atau horison yang ada di dalam teks dan cakrawala (pemahaman) atau horison reader. Kedua macam horison ini selalu berdialektika dalam proses pemahaman dan penafsiran. Seorang pembaca teks akan memulai pemahaman dengan cakrawala hermeneutiknya, dari prapemahaman yang dimilikinya. Namun, dia juga memperhatikan bahwa teks yang dia baca mempunyai horisonnya sendiri yang mungkin berbeda dengan horison yang dimiliki pembaca. Dua bentuk horison ini, menurut Gadamer, harus dikomunikasikan, sehingga ketegangan di antara keduanya dapat diatasi. Oleh karena itu, ketika seseorang membaca teks yang muncul pada masa lalu, maka dia harus memperhatikan horison historis di mana teks tersebut diproduksi (baca: diungkapkan atau ditulis).
Seorang reader harus memiliki keterbukaan untuk mengakui adanya horison lain, yakni horison teks yang mungkin berbeda atau bahkan bertentangan dengan horison pembaca. Dalam hal ini, Gadamer menegaskan, “Saya harus membiarkan teks masa lalu berbicara (memberikan informasi tentang sesuatu). Hal ini tidak semata-mata berarti sebuah pengakuan terhadap ‘keberbedaan’ masa lalu, tetapi juga bahwa teks masa lalu mempunyai sesuatu yang harus dikatakan kepadaku.” Intinya, memahami sebuah teks berarti membiarkan teks yang dimaksud berbicara. 
Interaksi di antara dua horison tersebut dinamakan “lingkaran hermeneutik” (hermeneutical circle). Menurut Gadamer, horison pembaca hanya berperan sebagai titik berpijak seseorang dalam memahami teks. Titik pijak pembaca ini hanya merupakan sebuah “pendapat” atau “kemungkinan” bahwa teks berbicara tentang sesuatu. Titik pijak ini tidak boleh dibiarkan memaksa pembaca agar teks harus berbicara sesuai dengan titik pijaknya. Sebaliknya, titik pijak ini justru harus bisa membantu memahami apa yang sebenarnya dimaksud oleh teks. Dalam proses ini terjadi pertemuan antara subjektivitas pembaca dan objektivitas teks, di mana makna objektif teks harus lebih diutamakan oleh pembaca atau penafsir teks.

Konsep Alienasi (keterasingan) Karl Marx



Konsep Alienasi (keterasingan) Karl Marx
Pasca revolusi industri, kondisi ekonomi Eropa diguncang oleh kapitalisme. Dimana buruh tidak lebih hanya sebagai benda-benda yang dapat diperjual-belikan tenaganya. Dari kondisi kultural yang seperti inilah Karl Marx melahirkan suatu teori konsep alienasi (keterasingan). Teori alienasi Marx didasarkan pada pengamatanya dalam produksi industri yang muncul dalam kapitalisme. Seolah tidak dapat dihindari lagi, bahwa para buruh kehilangan kontrol atas diri mereka sendiri. Mereka kehilangan hak otonom atas kehidupan mereka sendiri, yakni kebebasan untuk mengembangkan potensi kehidupan mereka sendiri menjadi terkotakan oleh kaum borjuis.
Karl Marx memopulerkan intilah elienasi dalam karyanya “Economic and Philosophical Manuscript” tahun 1844 sebagai penjelasan atas keterasingan seseorang dari sifat sejati kemanusiaan mereka.  Pada dasarnya manusia adalah mahluk kreatif yang menciptakan bentuk dari material yang mana mereka dapat mewujudkan jati diri mereka ke dalam apa yang mereka buat. Dalam masyarakat pra-kapitalis manusia adalah utuh, memiliki otoritas penuh atas diri mereka sendiri. Mereka menciptakan barang-barang untuk mereka gunakan sendiri untuk memenuhi kebutuhan mereka atau mereka perjual-belikan secara adil.
Namun, di dalam masyarakat kapitalis, menurut Marx, mereka tidak memiliki keinginan sendiri dan tdak bisa terhindar untuk menjual tenaga mereka. Atas kondisi inilah Marx mengatakan bahwa mereka telah teralienasi dalam empat hal yang mendasar dari sifat sejati manusia, yaitu :
1.       Kaum buruh teralienasi dari aktifitas produktif mereka. Para buruh tidak bekerja sesuai dengan keinginan dan tujuan mereka sebagai manusia untuk bekerja dan memperoleh suatu produksi yang berguna bagi mereka, akan tetapi aktifitas produktif yang mereka lakukan hanya berguna bagi kaum kapitalis (borjuis). Kaum borjuislah yang menentukan apa yang harus dikerjakan oleh kaum buruh, apa yang harus mereka produksi dan keuntungan hasil produksi menjadi milik para pemegang kapital.
2.       Kaum buruh teralienasi dari produk. Kepentingan pemegang kapitalis benar-benar memisahkan hak Buruh atas produk yang diproduksinya. Jika buruh bekerja kepada majikanya, ia tetap harus membayar atas produk yang dibuatnya. Karna hasil produksi merupakan hak milik kapitalis.
3.      Buruh teralienasi dari sesama buruh. Dalam sistem kapitalisme, para pekerja tidk diperbolehkan untuk saling bekerja sama dengan pekerja lainya, sehingga mereka tidak dapat saling berinteraksi satu sama lain meskipun berada di tempat yang sama dan berdekatan. Kapitalis membuat para buruh saling berlomba sejauh mana mereka berproduksi. Situasi demikian menyebabkan timbulnya permusuhan diatara para pekerja yang akan menguntungkan para kapitalis. Karena bagaimanapun juga pekerja akan kembali kepada majikanya dan keuntungan pun kembali kepada kaum kapitalis.
4.      Keterasingan para buruh dari poteni kemanusiaan mereka sendiri. Ineraksi para pekerja dengan sesamanya dan alamnya terkontrol secara ketat oleh kapitalis, sehingga potensi diri mereka menjadi terkungkung oleh sistem kapitalisme. Mereka dicetak sebagai mesin produksi yang hanya menguntungkan kapitalis tanpa memikirkan bagaimana kondisi jiwa mereka dan kualitas pekerja sebagai manusia.
Adanya alienasi pada sistem kapitalisme menimbulkan perbedaan dan sekat yang sangat kentara antara majikan dan buruh. Keterasingan ekonomi ini berkaitan dengan bentuk-bentuk keterasingan lainya. Pekerja harus tunduk kepada majikan, yang miskin harus tunduk kepada yang kaya, dan yang kaya pun harus tunduk kepada kekuasaan negara yang sebenarnya telah terorganisir sedemikan rupa. Dngan demikian, yang terjadi sebenarnya adalah terdapat kepentingan-kepentingan ekonomi pada tubuh pemerintahan kapitalisme. Keterasingan hanya dapat dihilangkan dengan menghapuskan konsep kepemilikan pribadi.

Kamis, 04 Juli 2013

Otentisitas Hadis dalam Pandangan Ignaz Goldziher




Berbicara mengenai otentisitas hadis berarti berbicara soal asal usul hadis. Perbincangan mengenai ini masih mengemuka dalam perdebatan studi hadis, terutama di kalangan sarjana Barat. Pasca renaissans membawa pengaruh yang sangat signifikan dalam dunia pengetahuan, terutama skeptisisme terhadap segala sesuatu yang ada. Begitu pula dalam kajian hadis di kalangan orientalis, apakah hadis yang beredar di kalangan umat muslim, yang menjadi sumber hukum kedua dalam Islam, benar adanya bersumber langsung dari Nabi Muhammad atau tidak?. Hal inilah yang dilakukan Ignaz goldziher yang kemudian ia sampai pada kesimpulan skeptisnya mengenai otentisitas hadis Nabi.
Ignaz meneliti hadis-hadis dalam kitab-kitab kanonik koleksi hadis. Ia membandingkan variasi teks matan hadis dari berbagai riwayat, kemudian merekonstruksikanya perkembangan kronologis masing-masing teks (dating). Ia menemukan adanya teks matan hadis yang saling kontradiktif antara satu dengan lainya. Materi-materi hadis yang terdapat pada kitab-kitab hadis yang muncul belakangan (setelah era kodifikasi) tidak memiliki rujukan pada kitab-kitab yang ditulis sebelumnya. Ditambah dengan kenyataan bahwa Sahabat-sahabat muda Nabi justru meriwayatkan hadis lebih banyak dibandingkan dengan Sahabat-sahabat tua Nabi[1].
Ignaz telah sampai pada kesimpulan bahwa hadis adalah konsekuensi dari jurisprudensi yang bebasis ra’yu. Lalu kemudian ia diatribusikan kepada Nabi untuk memperkuat argument hokum. Hal ini dapat dilihat dari sejarah perkembangan jurisprudensi Islam, dimana upaya penyusunan “hokum Muhammad” yang baru mulai sekitar abad ke-2 Hijriyah di masa pemerintahan dinasti Bani Umayah, di wilayah Madinah, Syiria  dan Irak, tidak membuahkan sebuah kodifikasi hokum. Namun upaya tersebut baru terwujud pada masa Bani Abbasiyah. Pada masa itu terjadi konflk antara ahl al hadis dan ahl ar ra’yu yang mencapai puncaknya pada paruh kedua abad ke-2 Hijriyah. Ketika itulah bermunculan hadis-hadis, yang pada dasarnya adalah ra’yu. Bahkan tidak hanya dalam ranah hokum, dalam doktrin politik dan teologi pun mengambil bentuknya dalam hadis[2]. Menurut Goldziher, pada paruh pertama hingga paruh kedua abad pertama Hijriyah hampir tidak ada sama sekali proses transmisi hadis. Oleh karena itu jika terdapat laporan tentang hadis pada masa itu sangat diragukan kebenaranya dan merupakan atribusi yang diada-adakan[3].
Bedasarkan analisis sosio-historisnya, goldziher berargumen bahwa hadis tidak dapat dipandang sebagai dokumentasi bagi sejarah kealahiran Islam, melainkan hanya sebagai refleksi tendensius yang muncul di masyarakat pada tahap awal perkembanaganya. Maka sangat sulit sekali untuk membuktikan secara historis bahwa hadis itu otentik berasal dari Nabi[4].


[1] Igna Goldziher, Muslim Studies. Vol.2. hlm. 19 (dalam file pdf)
[2] Wahyudin Darma Laksana. Hadis di Mata Orintalis: Telaah atas Pandangan Ignaz Goldziher dan Joseph Scatch (Bandung: Benang Merah, 2004), hlm. 96
[3] Fahmi Riyadi, “Studi Asal Usul Hadis Perspektif Herbert Berg (Analisis Atas Kualitas Isnad dalam Tafsir Surah al Hijr/15:89-91)”. Dalam ‘Orientalisme Al Qur’an dan Hadis’. (Yogyakarta: Nawesea, 2007) hlm. 190
[4] Goldziher. Muslim Studis. Vol.2 Hlm. 19

Senin, 01 Juli 2013

Studi hadis di Barat




Asal-usul & Perkembangan Studi Hadis

Ketertarikan sarjana Barat terhadap kajian ke-Islaman pada umumnya, dan terhadap Al Qur’an dan Hadis pada khususnya sudah muncul sejak abad ke-3 H/ ke-9 M.  Sampai saat ini ketertarikan tersebut masih tetap eksis bahkan semakin berkembang dari decade ke decade. Sementara secara spesifik, studi hadis oleh para sarjana Barat dimulai sejak sekitar abad ke 19 M, yakni dimulai oleh Alois Sprenger (w. 1893). Alois adalah seorang sarjana jerman yang mengekspresikam skeptisismenya terhadap otentisitas hadis[1]. Namun sepertinya disamping Alois Sprenger, ada yang lebih mendahuluinya, yakni R. Dozy, ia mengungkapkan bahwa di dalam kitab Shahih Bukhori terdapat banyak hadis yang dipertanyakan kesahihanya. Hal ini ia jelaskan dalam bukunya “Essais sur l’Histoire de l’Islamisme” yang diterbitkan oleh Leude, Paris pada tahun 1879[2].
            Yang dimaksud dengan perkembangan studi hadis di atas adalah studi hadis di kalangan orientalis pada periode modern, yakni dimana ilmu pengetahuan telah menemukan pencerahan kembali setelah terkungkung oleh kuatnya doktrin gereja, yaitu dimulai sekitar abad ke-19 dan 20 M. Dengan demikian, ada kemungkinan bahwa studi hadis telah dilakukan sebelum periode modern ini, meskipun tidak dapat diketahui dengan pasti kapan awal mulanya dan siapa yang memulainya. Namun, embrio studi hadis sudah ada semenjak sebelum abad ke-17 M. Hal ini terlihat dari sikap mereka ketika menggambarkan Muhammad sebagai seorang yang terserang penyakit epilepsy, pendusta dan sebagainya, sehingga agama yang dibawanya bukanah agama yang benar[3].
Berbincang soal asal usul merupakan materi ang tiada hentinya dikaji dalam studi hadis, terutama di kalangan sarjana Orientalis. Di antara implikasi dari masa Renaissance di Eropa adalah keraguan pengetahuan Barat terhadap segala hal. Demikian hal nya sikap skeptic sarjana Barat terhadap otentisitas hadis. Bentuk keraguan ini adalah apakah hadis Nabi dapat dibuktikan secara historis benar-benar otentik bersumber dari Nabi?. Sedangkan menurut pendapat sarjana muslim yang juga didukung oleh beberapa pemikir orientalis, mempercayai bahwa hadis benar-benar berasal dari Muhammad. Kedua kelompok yang saling bertentangan ini berupaya untuk menunjukan argument masing-masing dengan fakta yang dapat dijelaskan secara metodologis.
Secara fundamental, studi hadis di kalangan orientalis (Barat) berbeda dengan studi hadis di kalangan umat Islam pada umumnya (Timur). Di dunia Islam studi hadis lebih menekankan pada persoalan takhrij hadis untuk menentukan otentisitasnya, sedangkan di kalangan orientalis, lebih menekankan pada bagaimana melakukan penanggalan (Datierung) hadis untuk menaksir historisitasnya dan bagaimana melakukan rekonstruksi sejarah terhadap peristiwa yang terjadi pada masa awal islam[4].
Terdapat lima metode penanggalan hadis, antaranya yakni; 1) metode penanggalan yang didasarkan atas teks, 2) metode yang diambil dari kitab-kitab pengumpulan riwayat, 3) metode penanggalan dengan bantuan sanad, 4) metode yang didasarkan atas sanad dan matan, 5) meted penanggalan yang didasarkan atas criteria-kriteria lain[5]. Selain metode datierung ada pula metode kritik sumber (quellenkritik) yang digunakan para orientalis untuk mengetahui sejauh mana suatu riwayat tentang sejarah kehidupan Muhammad dan sejarah islam dapat dipercaya, yakni dapat diuraikan dalam perspektif ilmu sejarah (historis) moderen.
Kecenderungan cara berfikir orientalis yang concern dengan studi hadis, menurut Herbert Berg dapat digolongkan menjadi tiga. (1) skeptis, (2) non-skeptis, (3) middle ground[6]. Kelompok pertama, di antaranya diwakili oleh Dozy, Sprenger, William Munir, dan Ignaz Golziher. Skeptisisme tehadap otentisitas hadis ini, terutama sangat kental dalam buku Ignaz Goldziher Muslim Studis. Menurut Goldziher, hadis –hadis Nabi tidak dapat di pandang sebagai dokumentasi searh Islam, melainkan hanya refleksi tendensi-tendensi yang muncul di masyarakat pada fase awal perkembangan Islam. Hal ini brdasarkan materi-materi hadis yang terdapat dalam kitab-kitab hadis belakangan tidak memiliki rujukan pada kitab hadis sebelumnya. Keraguan ini semakin bertambah ketika Goldziher menemukan adanya kontradiksi dalam materi hadis, antara satu dengan lainya. Menurutnya, hadismerupakan konsekuensi jurisprudensi yang berbasis ra’yu. Hadis diatribusikan kepada Nabi hanya untuk memperkuat argument jurisprudensi. Hal ini dapat dilihat dari sejarah perkembangan jurisprudensi Islam yang baru dimulai sekitar awal abad ke-2 H. pada masa pemerintahan Dinasti Bani Umayyah. Skeptisisme Golziher ini kemudian diikuti oleh Joseph Schacht(1902-1969) yang kemudian berhasil menelurkan teori e silentio,backward-projection, dan common link yang banyak digunakan oleh penelitian berikutnya.
Kelompok kedua diakili oleh Nabia Abbot, Mustafa Azami dan masih banyak lainya. , Menurut Nabia Abbot, tradisi tulis menulis sudah berlangsung sjak masa Nabi, dimana para sahabat terbiasa menulis keterangan keterangan selain AL Qur’an, yamg disampaikan Nabi. Tradisi tulis menulis ini menopang tradisi oral yang berkembang di masyarakat Arab pada masa itu. Abbot meneliti manuskrip-manuskrip yang berisi informasi tentang karya-karya generasi awal Islam yang bersumber dari berbagai kitab. Abbot tidak sepakat jika hadis diterjemahkan sebagai bentuk pemalsuan dalam Islam tau rekaya ulama untuk mendukung argumentsi hokum[7].
Kemuian kelompok ketiga, yakni kelompok moderat,di antaranya diwakili oleh Harald Moztki. Di satu sisi Motzki mengkritik asumsi-asumsi skeptic. Dalampenelitianya tentang kitab hadis al Mushannaf karya ‘Abd ar-Razzaq ash-Shan’ani (w.211/826), ia mengatakan bahwa as Sha’ani tidak mungkin melakukan pemalsuan hadis. Analisis statistic terhadap informan-informan ash Shan’ani menunjukan adanya pola yang bervariasi dalam hal sanad, matan, dan istilah-istilah periwayatn yang digunkan dan dalam proporsi hadis dari Nabi, Sahabat atau Tabi’in. variasi-variasi ini menunjukan adanya proses panjang dalam transmisi hadis yng tidak mungkin dikarang oleh motzki.[8]


[1] Dadi Nurhaedi, “Perkembangan Studi Hadis di Kalangan Orientalis”, dalam jurnal ‘ESENSIA’, Vol.4, No. 2, Juli 2003, hlm. 170-171
[2] Sebagaimana yang dikutip oleh Sahiron Syamsudin, “Pemetaan Penelitian  Orientalis terhadap Hadis” dalam ‘ Orientalisme Al Qur’an dan Hadis’. (Yogyakarta: Nawesea Press, 2007) hlm. 46
[3] Ibid,
[4] Munawir, “Hadis Nabi di Mata Orientalis (Telaah Terhadap Kritik Otentisitas dan Kritik Sanad Joseph Schacht)”, dalam ‘Orientalisme Al Qur’an dan Hadis’. (Yogyakarta: Nawesea Press, 2007) hlm. 177
[5] Sahiron Syamsudin, “Pemetaan Penelitian Orientalis terhadap Hadis”, dalam  Orientalisme Al Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta: Nawesea Press, 2007) hlm. 50-54
[6] Ibid. hlm. 46
[7] Lihat; Nabia Abbot. “Hadith Literature- II: Collection and Transmission of Hadith”, dalam ‘Arabic Literature to the End of the Umyyad Period’ (Cambridge: Cambridge University press, 1983), hlm. 7-11 “dalam versi PDF”
[8] Sebagaimana dikutip oleh; Sahiron Syamsudin, “Pemetaan Penelitian Orientalis terhadap Hadis”, dalam  Orientalisme Al Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta: Nawesea Press, 2007) hlm. 49